Sarjana Pengaspalan

Antara Usus Halus, Deterjen, dan Bias Kognitif

Ketika membaca e-book Gut: The Inside Story of Our Body’s Most Underrated Organ karangan Giulia Enders, saya sedang dalam posisi (pura-pura) fokus ikut rapat yang agak membosankan di kantor. Tapi begitu sampai di kalimat ini, mendadak semua perhatian langsung pindah dari layar presentasi ke layar ponsel:

“As soon as we eat something, the liver and pancreas begin to produce these juices and deliver them to the papilla. These juices contain the same agents as the laundry detergent and dish soap you can buy from any supermarket: digestive enzymes and fat solvents.”

Mata saya langsung membelalak. "Lah? Masa iya enzim di usus sama kayak sabun cuci?" Penasaran dengan kalimat kontroversial itu, saya langsung mencari di google (tentunya setelah rapat selesai 😏). Dan ternyata, dari beberapa situs, bisa saya simpulkan bahwa memang benar:

Senyawa di deterjen Senyawa di pencernaan Fungsi
Enzim Protease Enzim Protease (dari Pankreas) Mengikat protein
Enzim Lipase Enzim Lipase (dari Pankreas) Mengikat lemak
Surfaktan Garam empedu Emulsifikasi lemak

Analogi dari Giulia Enders ini langsung jadi pencerahan besar buat saya—seorang yang waktu SMA masuk IPS karena gagal paham biologi kelas X. Hanya dari dua kalimatnya Giulia Enders, saya bisa membayangkan proses pencernaan dalam bentuk yang sangat visual dan masuk akal: makanan berminyak, penuh protein, masuk ke usus, lalu dilumuri cairan pencernaan yang isinya semacam “deterjen”. Tapi stelah proses itu, baru perbedaannya kelihatan. Noda di baju itu diangkat lalu dibuang ke air bilasan. Di sistem pencernaan, lemak dan protein yang sudah “diangkat” malah diserap kembali oleh dinding usus.

Model penjelasan seperti ini sangat jarang saya temukan di buku-buku berbahasa Indonesia. Atau mungkin memang saya saja yang kurang membaca buku-buku non-fiksi sains berbahasa Indonesia 🤔?

Ada buku lain yang saya baca sebelum bertemu buku berjudul Gut ini. Buku yang juga membuat saya berpikir, "Lho, bisa ya ilmu IPA disampaikan senyaman ini?" Buku itu berjudul Immune: A Journey into the Mysterious System That Keeps You Alive karya Philipp Dettmer.

Di mata saya (yang alergi dengan pelajaran IPA sejak remaja) Immune terasa tidak seperti buku biologi. Dia lebih seperti sebuah cerita petualangan. Sel-sel imun seperti makrofag, neutrofil, dendritic cell, T cell, hingga NK cell dipersonifikasi sebagai tokoh-tokoh di game strategi. Ada yang berperan sebagai komandan, ada yang jadi intelijen, ada yang jadi penembak jitu, dan analogi lainnya.

Naik level sedikit dari situ, ada buku How the Immune System Works dari Lauren M. Sompayrac. Dia membahas hal-hal yang lebih rumit seperti Complement System, reseptor, interleukin, interferon, dan Inter Milan. Tapi tetap saja, cara penyampaian Sompayrac jauh lebih manusiawi dibandingkan buku biologi SMP-SMA. Misalnya, Sompayrac membahas kondisi makrofag itu dengan pembukaan bahwa dia terbagi dalam tiga kondisi: santai, terganggu, dan marah. Sederhana dan mudah diingat. Kalau dia membuka bab makrofag dengan kalimat: “makrofag diaktivasi oleh IFN-γ yang diproduksi oleh CD4+ T Cell”, sepertinya alergi biologi saya akan langsung kambuh lagi.

Mari kita ganti topik sebentar dari biologi ke psikologi. Di beberapa buku psikologi dan komunikasi, ada satu bias kognitif yang sering disebut curse of knowledge. Salah satunya dibahas oleh Daniel Kahneman di buku Thinking, Fast and Slow. Intinya begini:

begitu kita tahu sesuatu, sangat sulit untuk kembali ke kondisi pikiran (state of mind) sebelum kita tahu.

Bingung? Begini contoh gampangnya. Coba diingat-ingat ketika kita kecil dan baru belajar berapa 7 + 8. Saya yakin kalau ditanya sekarang, jawabannya langsung ketemu tanpa berpikir. Akan tetapi, melihat anak saya duduk dan sibuk membuka-menutup jari-jarinya, saya dipaksa untuk berempati dan mencoba memahami bahwa dulu pun saya pasti pernah merasa 7 + 8 itu susahnya minta ampun.

Jika tidak berhati-hati, bias curse of knowledge ini bisa membuat jurang pemahaman antara pengajar dan murid semakin lebar. Orang yang sudah paham biasanya lupa rasanya nggak ngerti itu gimana. Bagaimana cara menjembatani jurang ini? Salah satu caranya adalah menyadari bahwa otak manusia itu sangat responsif akan narasi dan asosiasi. Narasi adalah dongeng, asosiasi adalah mengaitkan konsep baru dengan konsep lama.

Narasi adalah cerita tentang pahlawan-pahlawan mikroskopik yang bertarung demi tubuh kita. Asosiasi adalah saat kita mengenali enzim pencernaan lewat sabun cuci di dapur.

#biology #cognitive-bias #psychology