Sarjana Pengaspalan

Catatan Pribadi 11 Oktober 2025

Money value of time

Semakin bertambahnya umur, semakin saya menyadari bahwa waktu adalah sumber daya yang paling langka. Waktu adalah satu-satunya sumber daya yang tidak bisa direinvestasikan untuk mendapatkan gain di masa depan. Waktu adalah satu-satunya hal yang tidak bisa dibeli bahkan oleh orang terkaya di dunia sekalipun.

Di mata kuliah Manajemen Keuangan dulu, saya belajar bahwa uang memiliki nilai waktu, atau yang sering disebut time value of money. Tapi butuh waktu bertahun-tahun sampai saya sadar bahwa kebalikannya juga benar, bahwa waktu pun punya nilai uang, money value of time. Dengan uang yang terbatas, manusia harus memilih apa yang akan dibeli. Dengan waktu yang terbatas, manusia harus memilih apa yang akan dilakukan. Ironisnya, manajemen tentang keuangan diajarkan di kampus, tapi manajemen tentang waktu hanya diajarkan oleh hidup.

Oke. Sebetulnya paragraf di atas hanyalah sebuah bentuk keluhan saya dengan kondisi yang saya hadapi saat ini. Dengan menurunkan banyak standar hidup, saya merasa hidup saya sekarang jauh lebih bahagia dibandingkan ketika saya memiliki banyak ambisi. Akan tetapi, pilihan saya untuk mengejar salah satu sisa ambisi saya (sebagai seorang sarjana pengaspalan) ternyata memiliki konsekuensi yang sangat besar.

Sekarang saya baru merasa bahwa setelah kuliah, saya kehilangan banyak kesempatan untuk melakukan hal-hal lain. Pagi sampai sore waktu habis di kantor, kemudian sejak maghrib sampai sekitar pukul sepuluh malam waktu saya habis di kampus. Setelah itu, karena rasa ingin tahu yang tidak bisa dibendung, biasanya saya kembali belajar sampai sekitar pukul satu pagi. Begitu terus polanya setiap hari. Di akhir pekan pun sisa waktu setelah dikurangi family time juga habis untuk mengerjakan tugas kuliah. Saat ini, saya merasa bahwa waktu luang untuk membaca (buku non akademik), lari, menulis jurnal dan blog, serta bermain dengan anak itu sangat sulit untuk dicari.

Bukan berarti saya tidak menyukai kuliah yang saya jalani. Kalau mau jujur, bahkan baru kali ini saya merasakan excitement untuk berangkat pergi ke sebuah institusi pendidikan. Dulu saya selalu dipaksa orang tua untuk sekolah atau terpaksa berangkat kuliah. Sekarang, saya tidak sabar menunggu jam pulang kerja agar bisa segera berangkat ke kampus.

Setelah menjalani tiga minggu perkuliahan, salah satu hal (di luar disiplin ilmu teknik sipil) yang bisa saya ambil adalah bahwa setiap pilihan, baik yang kecil maupun yang besar, selalu dibayar dengan waktu yang tak akan kembali.

Ingat lima perkara, sebelum lima perkara... Lapang sebelum sempit. 🎶

Raihan, "Demi Masa", 2001

Tentang AI dan ekstrapolasi

Beberapa hari yang lalu, saya merasakan sendiri salah satu bahaya penggunaan AI sebagai sparring partner dalam belajar. Padahal dulu saya sempat berpikir bahwa AI adalah salah satu sparring partner terbaik dalam konteks edukasi.

Begini konteks permasalahannya, dosen saya memberikan tugas untuk membuat paper tentang struktur geologi. Dari sebuah buku, saya melakukan kesalahan membaca sub judul struktur utama sedimen menjadi struktur utama. Kesalahan tersebut saya lempar ke ChatGPT. Entah algoritma apa yang dipakai, ChatGPT memvalidasi kesalahan saya, dan dengan sangat meyakinkan, menjelaskan bahwa struktur geologi itu dibagi menjadi primer dan sekunder. Struktur primer adalah apa yang saya salah pahami, struktur sekunder adalah hal-hal yang seharusnya menjadi topik pembahasan saya.

Setelah mengetik beberapa halaman, baru kemudian saya menemukan inkonsistensi antara konsep yang saya dapat dari hasil diskusi saya dengan ChatGPT dengan penjelasan di buku-buku yang lain. Bahwa hal-hal seperti bedding, mud cracks, dan ripple marks itu terlalu spesifik di konteks sedimen untuk disebut struktur primer umum. Dan bahwa seharusnya saya lebih detil membahas tentang folds, faults, dan joints, inti sebenarnya dari struktur geologi.

Hmm. Setelah saya baca sendiri paragraf di atas, sepertinya terlalu teknis ya. Gapapa. Ini jadi pertanda kalo saya masih harus banyak belajar. Kata Einstein, kalo belum bisa menjelaskan secara sederhana, berarti saya masih jauh dari level ahli 😁. Saya coba pakai analogi.

Jadi, saya disuruh membuat paper tentang mobil dan dari sebuah buku, saya menemukan teks bahwa kuda itu sering dipakai manusia sebelum mobil diciptakan. Kemudian ChatGPT memvalidasi hal tersebut dan menjelaskan bahwa kuda adalah transportasi pertama dan mobil adalah transportasi kedua. Ada dua kesalahan fatal di sini:

  1. Kuda bukan satu-satunya alat transportasi pertama karena orang di timur tengah naiknya unta dan orang di area arktik naiknya kereta yang ditarik anjing, dan
  2. Seharusnya saya diarahkan untuk lebih menjelaskan tentang bagian-bagian mobil daripada menjelaskan tentang hubungan antara kuda dan mobil.

Yang saya pahami, AI melakukan ekstrapolasi1 kemudian menjelaskan, dengan nada tulisan yang sangat meyakinkan, bahwa seolah-olah hasil ekstrapolasi tersebut adalah sebuah fakta. Setelah merasakan sendiri seberapa parahnya efek ekstrapolasi yang disuapkan oleh AI selama ini, saya jadi lebih hati-hati memercayai "kebenaran" dari hasil diskusi dengan mesin. Setiap kali AI "memuji" dan memvalidasi ide, sekarang saya akan bersikap dengan jauh lebih skeptis.

Saya punya firasat bahwa kebutuhan engagement dari perusahaan pembuat AI adalah salah satu alasannya. Validasi emosional ke pengguna membuat pengguna merasa dihargai, kemampuan AI untuk mengaitkan banyak hal membuat pengguna merasa benar. Kombinasi dari keduanya sangat berbahaya karena membuat manusia lupa bahwa yang sepertinya fakta bisa jadi hanya sebuah efek samping dari desain produk.

Wew. Awalnya saya cuma niat meracau tapi ternyata panjang juga. Sepertinya harus saya hentikan sampai di sini agar tidak tambah melebar ke mana-mana. Sampai jumpa di tulisan selanjutnya.


  1. Pengembangan dari pola atau yang sudah ada. Biasanya ekstrapolasi erat kaitannya dengan prediksi atau forecasting.