Kertas, Bolpoin, dan Pembebasan dari Algoritma
Kapan terakhir kali kalian menulis? Maksudku beneran menulis pakai bolpoin di buku. Bukan ngetik di HP, bukan di laptop, tapi menulis dengan tangan di atas kertas.
Bagi saya pribadi, menulis itu adalah kemerdekaan. Mungkin terkesan sok filsuf, tapi saya merasa bahwa di era sekarang, bisa bebas dari konektivitas adalah sebuah privilese. Menulis dengan tangan adalah bentuk perlawanan kecil terhadap arus digital yang terus mengguyur tanpa henti.
Konektivitas dulu digadang-gadang jadi pintu yang terbuka lebar sebagai jendela informasi. Sekarang dia seperti pintu air yang jebol. Sebelum era internet, informasi hanya bisa diakses oleh sebagian orang yang tau cara mengaksesnya. Di masa itu, media massa menjadi satu-satunya cara untuk memperoleh informasi yang (relatif) akurat. Emm, sebenernya berita lisan juga bisa, sih. Tapi akurasinya kurang bisa dipercaya.
Sekarang, dengan informasi yang sudah menyatu di kehidupan sehari-hari. Informasi mengalir dengan lancar. Bahkan terlalu lancar sampai banjir. Pernah gak kalian buka HP buat nyari-nyari informasi tapi malah jadi stres sendiri? Aku sih sering. Gak hanya masalah politik negara (kalo itu sudah pasti bikin stres)š¤«, tapi juga konten-konten ākehidupan idealā yang muncul tanpa henti. Orang yang lagi jalan-jalan, makan fancy, punya waktu luang, bisa ngasuh anak sampai menang olimpiade, semua tampil seolah-olah hidupnya pun tanpa cela. Padahal di dunia nyata, nyari waktu (dan duit) buat jalan-jalan itu gak semudah seperti di post-post Instagram.
Dan dengan algoritma media sosial, semakin sering aku lihat post jalan-jalan (yang bikin ngiri), semakin banyak post serupa yang muncul (yang bikin naik sampe ke level dengki). Ini disebut dengan algorithmic hijack, algoritma yang belajar dari klik serta emosi manusia lalu menyajikan konten yang paling memancing engagement, bukan yang paling bermakna. Dua jam scroll-scroll, otakku terjebak dalam dopamine loop. Dosa dan dengki juga ikut menumpuk. Dan ironisnya, aku bahkan lupa tadi buka apa aja. Informasi mengalir begitu saja, tanpa jejak, tanpa makna.
Kondisi yang familier?
Saya punya teori pribadi kenapa hal ini bisa terjadi. Secara fisiologis, otak kita itu masih beroperasi di dengan desain zaman berburu-meramu. Otak kita tidak didesain untuk menerima informasi dalam jumlah dan frekuensi seperti sekarang. Otak kita didesain untuk bekerja semaksimal mungkin dalam mode āotomatisā yang sangat efisien energi dibandingkan mode ākritis-skeptisā yang boros energi.1 Di zaman berburu-meramu, hemat energi itu penting karena makanan susah didapat. Tapi sekarang ini hemat energi udah gak relevan. Tinggal pencet aplikasi, makanan udah datang ke depan rumah.
Wait, apaan tuh mode āotomatisā? Apa itu mode ākritis-skeptisā?
Coba ingat-ingat masa di mana belajar naik motor atau mobil. Aku yakin pasti pikiran rasanya penuh banget. Harus mikir seberapa dalam nginjak gas, kapan ngerem, kapan ngoper gigi, kapan belok, dan kerumitan lainnya. Nyetir 15 menit aja rasanya kaya satu jam. Tapi setelah terbiasa, perjalanan dari rumah ke kantor selama sejam kaya nggak kerasa. Tiba-tiba aja udah di parkiran.
Kondisi di mana kita selalu fokus dan terus-menerus berpikir bagaimana hubungan injakan gas dengan tenaga mesin itu adalah mode ākritis-skeptisā. Saat kita nyetir sambil nyanyi dan tiba-tiba udah sampai parkiran itu mode āotomatisā.
Oke, udah melebar kejauhan. Balik ke topik lagi tentang otak āprimitifā.
Otak manusia memang didesain untuk bisa memproses dengan cepat. Dalam 30 detik, otak kita itu memproses informasi lebih banyak daripada informasi yang diproses Hubble Space Telescope selama 30 tahun!2. Tapi bisa cepet itu bukan berarti harus dipaksa cepet terus. Motor itu bisa melaju 120km/jam, tapi masa iya tiap naik motor harus 120km/jam terus? Kalau otak terus menerus-menerus dibanjiri dan mengolah informasi, dia bisa kelelahan3. Yang muncul bukan pemahaman, tetapi kebingungan.
Salah satu cara mengatasinya adalah dengan membiasakan menulis. Terutama, menulis dengan tangan.
Menulis memaksa kita untuk āmelambatā. Kecepatan tangan jauh lebih lambat daripada kecepatan pikiran. Tapi justru di situ letak kekuatannya. Dengan menulis secara lambat, kita mengajak otak untuk menyusun, memilah, dan mencerna informasi kemudian menuangkannya dalam bentuk yang lebih sistematis.
Punya anjing yang aktif dan selalu pingin lari? (Saya sih nggak punya š) Nah menulis itu ibarat tali yang diiket di leher si anjing tadi. Kita tidak membiarkan si anjing lari liar, tapi mengajaknya jalan pelan-pelan, sesuai arah yang kita tentukan.
Menulis adalah cara kita mengambil alih kendali. Bukan sekadar mengikuti arus algoritma yang didesain untuk membuat kita terus menatap layar. Menulis adalah sebuah kemerdekaan. Kemerdekaan untuk memilih bagaimana cara berpikir, merasa, dan bercerita. Kemerdekaan untuk berhenti sejenak, dan benar-benar hadir di dunia nyata.
Mulai hari ini, coba mulai tulis satu paragraf dengan tangan setiap hari. Rasakan bedanya.
Daniel Kahneman, Thinking, Fast and Slow. Di buku ini, Daniel Kahneman menyebut mode otomatis sebagai System I dan mode kritis-skeptis sebagai System II.↩
Bill Bryson, The Body: A Guide for Occupants.↩
Istilah yang cukup populer sekarang adalah information fatigue. Hal ini berkaitan dengan cognitive overload di mana otak dipaksa untuk berpikir kognitif terus-menerus.↩