Sarjana Pengaspalan

Mesin Pintar dan Kekosongan Perdebatan

Pertemuan pertama

Saya masih ingat interaksi pertama saya dengan ChatGPT sekitar 2 tahun yang lalu.

Make VBA for bulk printing in Microsoft Excel.

Saya sudah sering menggunakan VBA untuk batch print serupa. Namun hari itu, tingkat kemalasan saya benar-benar parah, hingga untuk mencari file template VBA saja rasanya berat. Jadi iseng-iseng saya mencoba hasil perkembangan teknologi yang sering dibicarakan orang. Dan hasil yang diberikan oleh ChatGPT benar-benar menjawab kebutuhan saya.

Setelah itu, AI saya lupakan lagi. Hingga bulan Juni 2025, seorang teman saya mengunggah status yang isinya jawaban AI dengan bahasa yang sangat puitis (teman saya senang puisi). Terdorong rasa penasaran, saya mencoba menyuruh ChatGPT untuk menjelaskan 4 fundamental forces dengan gaya bahasa Mochtar Lubis. Dan ini adalah salah satu dari empat gaya fundamental yang dihasilkan ChatGPT saat itu.

Gaya Gravitasi

Inilah gaya paling lemah, tapi paling luas pengaruhnya. Ia tak bersuara, tak tampak, tak tercium. Tapi ia menahan planet-planet agar tak beterbangan ke kehampaan. Ia menambatkanmu ke bumi. Menarik apel jatuh dari pohon—dan menumbuhkan revolusi sains lewat Newton.

Gravitasi tidak memilih. Ia bekerja pada semua benda yang punya massa. Semakin besar massanya, semakin kuat tarikannya. Tapi lemah. Terlalu lemah jika dibandingkan dengan gaya lainnya. Namun justru karena ia tak pernah menghilang, pengaruhnya terasa dari sudut sempit meja tulismu, hingga lipatan ruang waktu di dekat lubang hitam.

Saya terpana membaca apa yang ditampilkan di situ. Saya takjub melihat bagaimana ChatGPT bisa dengan menangkap pola kata Mochtar Lubis dengan sangat baik. ChatGPT memang bukan Mochtar Lubis. Namun saya yakin, bahwa jika ada lomba untuk membuat tulisan mirip seperti Mochtar Lubis, saya tidak akan pernah bisa mengalahkan ChatGPT.

Dan sejak Juni hingga saat ini, sudah tidak terhitung berapa banyak kata yang saya tulis di ChatGPT. Mulai dari elaborasi konsep, uji pemahaman, sampai mengetes ide-ide radikal. Dari sekian banyak interaksi saya dengan AI, ada satu poin yang benar-benar mengusik sekaligus menenangkan. Bahwa AI tidak akan pernah bisa menggantikan kehadiran manusia sebagai sparring partner.

Dari sisi pengetahuan, AI (khususnya LLM) memang benar-benar memiliki dimensi yang tidak akan pernah bisa dicapai oleh manusia. Saya memiliki keyakinan yang cukup kuat bahkan polymath terbaik di muka bumi ini pun tidak akan pernah bisa mengalahkan pengetahuan yang dimiliki AI. Namun di sisi lain, ada satu kelemahan AI yang membuat dia tidak bisa menggantikan manusia: ego.

Ego

Manusia memiliki ego dan akan selalu berusaha mempertahankan pendapatnya. Ketika seseorang setuju dengan pendapatku, dia akan memberikan afirmasi secara emosional. Ketika dia tidak setuju, dia akan memproses pendapatku sebagai sebuah “ancaman” dan akan berusaha “melawan” ideku dengan pemikirannya. Dari afirmasi dan friksi tersebut, biasanya muncul sebuah pemahaman baru.

Selama tiga bulan berinteraksi dengan AI, aku sadar bahwa pendapatku belum pernah benar-benar ditentang. AI selalu berusaha memberikan afirmasi positif. Bahkan, ketika aku meminta AI untuk membuat sebuah “persona” dengan harapan ada gesekan pendapat, ada kejanggalan dari cara AI menentang pendapatku. Sanggahannya terasa dibuat-buat dan tidak natural. Setelah bertahun-tahun paham apa itu “uncanny valley”, saat ini aku baru mengalami hal itu secara personal.

Pendayagunaan AI

Namun apakah AI tidak ada gunanya?

Tidak juga seperti itu. Aku belajar bahwa AI itu adalah 1) alat yang tepat untuk mencari pengetahuan di level dasar dan 2) teman yang tepat untuk menggali proses pemikiran diri (metakognisi). Dan di dalam dua hal itu, selalu ada rem yang perlu diinjak agar tidak terjerumus.

Dalam pendalaman pengetahuan, AI tidak bisa menggantikan buku. Memang terkadang ketika membaca buku, selalu ada curse of knowledge tak peduli seberapa pun usaha penulis untuk mengeliminasi hal tersebut. Namun justru di situ letak kekuatannya. Gap pengetahuan antara penulis dengan kita sebagai pembaca memacu otak kita untuk berpikir. Dan dengan dipaksa untuk berpikir, bukan hanya dijejali fakta yang mudah dicerna oleh AI, kita akan mendapatkan esensi pengetahuan yang sebenarnya.

Untuk proses metakognisi, AI adalah tempat yang (menurut saya) lebih tepat daripada melamun sendirian. Misal, kita adalah orang yang sangat skeptis tentang jargon “Indonesia Emas 2045”. AI akan memberikan dukungan dan analisis yang mendukung pendapat kita. Sebaliknya jika kita sangat optimis, AI juga akan memberikan data-data yang menunjukkan kemajuan di berbagai sektor. Dalam proses ini, nilai tambahnya bukan pada jawaban yang diberikan AI. Yang menjadi fokus seharusnya adalah jejak percakapan kita sendiri, bagaimana optimisme dan skeptisisme terbentuk dan bergerak di kepala.

AI dan masa depan

Saya percaya bahwa pemanfaatan AI adalah sebuah keniscayaan. Seperti internet yang dulu sering dikritik di awal tahun 2000-an, kini semua orang tidak sadar bahwa dia sedang memanfaatkan internet. Dulu, internet yang harus diakses melalui browser, kini dia sudah menyatu dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk chat, cloud drive, streaming, navigasi, dan teknologi lain. Menurut saya, lebih bijak jika kita mencoba untuk berdamai dengan AI dan menerimanya sebagai proses pendewasaan umat manusia.

Seperti api yang dulu ditaklukkan manusia purba untuk menerangi dan membakar, AI pun harus dijinakkan oleh manusia modern, bukan disembah. AI adalah alat, bukan tuan, dalam perjalanan manusia memahami dan membentuk dunianya.

#ai