Ngobrol: Aplikasi buat Sinkronisasi Otak
Dulu saya yakin betul bahwa ngobrol tanpa tanggapan itu buang-buang waktu. Menurut saya (versi dulu), kalau mau cari solusi ya harus diskusi. Ada tanya-jawab, debat, tukar pikiran. Kalau cuma ngomong dan orang lain cuma mengangguk, itu sama saja kayak ngobrol sama cermin. Jadi, pergi ke psikolog itu kok kaya mubadzir ya. Kalau ke psikiater sih masih oke, lah. Meskipun saya nggak begitu suka minum obat, setidaknya ada hasil fisik berupa obat yang saya bawa pulang. Kalau ke psikolog? Udah bayar, disuruh cerita, udah gitu pulang nggak bawa apa-apa.
Prinsip ini saya pegang bertahun-tahun… sampai sekitar dua minggu lalu.
Yang bikin saya berubah itu bukan sesi terapi atau debat sama psikolog. Hanya sebuah momen iseng skimming buku parenting berjudul The Whole-Brain Child karya Daniel J. Siegel & Tina Payne Bryson.
Di situ, mereka membagi otak jadi empat wilayah besar: kiri–kanan dan atas–bawah. Karena ini buku parenting, penjelasannya sederhana
- Otak kiri suka hal-hal berawalan L: law (aturan), logic (logika), literal, linguistic, linear, dan list (daftar).
- Otak kanan suka yang abstrak: pola, hubungan, nuansa, dan emosi.
Yang cukup menarik adalah, ternyata bagian kiri dan kanan ini nggak bisa kerja sendirian, terutama saat memproses bahasa. Kiri mengurus kata-kata (struktur, tata bahasa), kanan mengurus rasa (intonasi, bahasa tubuh, metafora). Ketika bagian bahasa di otak kiri dan kanan rusak, hasilnya bisa berbeda
- bagian kiri, bisa muncul:
- Broca’s aphasia: paham maksud orang lain, tapi susah menyusun kata.
- Wernicke’s aphasia: ngomong lancar tapi isinya acak.
- kalau bagian kanan yang rusak, bahasanya jadi kaku, harafiah, dan disampaikan tanpa intonasi atau konteks.
Di buku The Whole-Brain Child, Daniel & Tina bilang bahwa anak di bawah 3 tahun masih dominan otak kanan. Mereka belum bisa menjelaskan perasaan secara logis. Begitu otak kiri mulai berkembang (biasanya ditandai fase “kenapa?” yang nggak ada habisnya), anak mulai penasaran dengan sebab-akibat. Masalahnya, kosakata emosi anak masih terbatas. Contohnya, anak kelas 1 SD merasa kewalahan dengan PR, tapi marahnya malah keluar sebagai, “Aku nggak mau sekolah! Ibu jahat selalu nyuruh aku ngerjain PR!” Logika mereka belum jalan. Otak kiri yang biasanya mengurutkan sebab-akibat “kenapa aku marah” nggak dapat jatah karena panggung didominasi oleh otak kanan.
Strategi bagi orang tua seperti apa?
- Jangan adu argumen. Masuk lewat jalur emosional dulu: validasi perasaannya (“Capek ya sekolahnya?”, “Tugasnya susah banget, ya?”).
- Setelah mereka merasa dimengerti, ajak bercerita urut dari awal—mulai dari hal netral sampai ke pemicu marah.
- Sambil bercerita, tambahkan “nama” untuk emosinya (misalnya overwhelmed, capek, stres) dan bantu mereka menyusun solusi.
Proses ini membuat otak kiri mulai aktif lagi karena ada hubungan sebab-akibat, ada label emosi, ada rencana. Kiri-kanan kembali berjalan secara seimbang.
Di situlah saya sadar bahwa orang dewasa pun sama juga. Ketika kita sedang kalut, otak kiri sering “blank”. Dengan bercerita, kita memaksa diri untuk menyusun kata, dan itu pelan-pelan membuat otak bagian kiri aktif kembali. Hasilnya, pikiran jadi lebih runtut, emosi lebih stabil. Kadang solusi justru muncul saat kita menjelaskan masalah ke orang lain, meski orang itu hanya mendengarkan, tidak memberikan saran.
Jadi, ngobrol itu bukan cuma supaya mendapatkan solusi dari luar. Terkadang, itu adalah cara kita mengundang solusi dari dalam.