Sarjana Pengaspalan

Pembelaan Pemenang Nobel terhadap Mobil Tua Milik Saya

Ada sebuah perdebatan keras di dalam kepala saya. Satu suara (anggap saja Suara A) bilang bahwa faktanya, mobil yang saya miliki saat ini memang sudah tidak nyaman. Semua bagian di kabin bunyi, mulai dari dashboard yang bergemeretak hingga mur penyambung lantai dan jok yang juga ikut-ikutan berdecit. Itu baru di dalam kabin, belum bicara di bagian luarnya. Pintu kanan, wiper, bahkan sampai kaki-kaki juga tidak mau kalah suara dari bagian-bagian di dalam kabin. Sangat berbeda dengan kondisi mobil teman-teman saya yang jauh lebih tenang baik di dalam maupun di luar kabin. Suara A sangat yakin karena pendapatnya bisa diukur secara objektif dengan alat pengukur noise dan getaran.

Akan tetapi, ada suara lain (Suara B) yang punya ide berbeda. Suara B bilang kalau semua mobil itu sama saja. Sayangnya, dia tidak punya alasan yang kuat. Satu-satunya argumen yang dia miliki adalah bahwa toh teman saya yang mobilnya jauh lebih bagus pun masih sering mengeluh dengan kondisi mobilnya. Validitas argumen Suara B sangat rendah dan sulit untuk dibuktikan secara sistematis.

Anehnya, saya memiliki tendensi untuk memihak Suara B dalam perdebatan imajiner ini. Mungkin saya memiliki sebuah intuisi bahwa ada unsur psikologis kuat yang belum bisa dibuktikan oleh Suara B. Atau mungkin juga sebetulnya saya hanya mencari sebuah pembenaran untuk tetap berusaha nyaman dengan kondisi mobil saya (karena jelas belum ada dana untuk membeli mobil yang baru).

Empat hari yang lalu, akhirnya Suara B menemukan argumennya. Ketika memasuki bagian terakhir dari buku Thinking, Fast and Slow karangan Daniel Kahneman, akhirnya Suara B menemukan penjelasan bahwa semua mobil itu (pada prinsipnya) sama saja nilai kenyamanannya. Untuk memahami hal tersebut, ada dua prinsip yang perlu dikaji terlebih dahulu: focusing illusion dan affective forecasting.

book_picture

Tentang focusing illusion

Di bab yang saya baca tersebut, ada sebuah pertanyaan yang menarik

Seberapa besar nilai kepuasan (atau ketidakpuasan) yang kamu dapat dari mobilmu?

Ketika ditanya seperti ini, otak saya segera membentuk jawaban-jawaban yang sifatnya positif maupun negatif. Saya merasa puas dengan kabin yang lega dan kemampuan mobil saya untuk mengangkut banyak barang dengan mudah. Dari sisi harga, mobil saya juga relatif murah di kelasnya. Sedangkan untuk hal-hal yang negatif, sudah saya kemukakan di atas. Tapi tidak hanya itu, masih banyak lagi banyak hal-hal lain yang mengganggu yang belum saya sebutkan. Dari skala 0-100, saya memberikan nilai kepuasan kira-kira 65.

Kemudian ada pertanyaan kedua yang cukup unik.

Kapan kamu merasakan kepuasan (atau ketidakpuasan) tersebut dari mobilmu?

Kahneman berpendapat bahwa jawabannya sederhana. Seseorang merasakan kepuasan (atau ketidakpuasan) hanya saat orang itu memikirkannya. Setelah saya resapi, ternyata pernyataan tersebut sangat cocok dengan pengalaman saya selama ini. Selama menyetir, saya hampir tidak pernah memikirkan tentang mobil saya. Fokus saya pasti ke arah jalan dan traffic. Dalam kondisi lalu lintas padat, saya hampir tidak pernah mendengar bunyi dashboard yang gemeretak. Dan saya hanya memikirkan suara dari ban kiri depan ketika melewati jalan yang agak bergelombang.

Jadi sebenarnya, nyaman atau tidak nyaman suatu mobil itu tergantung kapan kita memikirkannya. Pikiran itu bisa timbul dari pertanyaan yang diajukan langsung, seperti di dalam buku yang saya baca atau ketika ada teman yang kepo. Pikiran itu juga bisa muncul ketika ada stimulus seperti bunyi-bunyian atau ada bagian yang bergetar. Melebar dikit, bunyi di ban kiri depan itu sebetulnya adalah kode keras untuk siap-siap menguras dompet buat rehab kaki-kaki 😵‍💫.

Kepuasan itu tidak dirasakan, tapi dipikirkan.

Tentang affective forecasting

Affective forecasting adalah kecenderungan manusia untuk salah memprediksi bagaimana perasaan kita di masa depan. Kita sering mengira suatu experience baru (yang positif maupun negatif) akan memberi dampak emosional yang besar dan bertahan lama. Padahal, emosi manusia akan hal yang baru itu cepat memudar, dan penggunaan hal baru tersebut dalam kehidupan sehari-hari membuat kita kembali ke titik netral lebih cepat dari yang kita bayangkan.

Di bab tersebut, Kahneman memberikan contoh bahwa manusia sering melebih-lebihkan pengaruh peristiwa tertentu pada kebahagiaan mereka. Contohnya adalah tercapainya mimpi pindah ke kota baru yang kondisinya lebih baik (menurut Instagram dan X). Orang mengira hidupnya akan jauh lebih bahagia dengan kepindahan. Padahal setelah beberapa waktu, euforia mereka akan hilang dan hidup akan kembali menjadi terasa biasa saja di kota baru itu. Justru faktor-faktor kecil lain dalam kehidupan sehari-hari akan lebih dominan dalam menentukan tingkat kepuasan. Hal ini sudah pernah diuji secara sistematis meskipun dalam topik yang berbeda: ekspektasi vs realita pernikahan 😛.

Jika saya hubungkan hal ini dengan keluhan saya soal mobil, ada kemiripan konsep. Saya memiliki bayangan bahwa dengan mobil baru, tingkat kenyamanan saya ketika menyetir akan lebih baik. Tetapi, Kahneman memprediksi bahwa euforia saya atas mobil baru tidak akan berlangsung lama. Seiring berjalannya waktu, tingkat kenyamanan saya akan kembali dipengaruhi oleh hal-hal kecil yang saat ini terjadi di mobil saya yang sekarang dan akan terjadi di mobil baru. Hal kecil tersebut contohnya adalah tingkat kemacetan, anak yang merengek di dalam mobil, dan seberapa banyak tisu yang berceceran di kabin mobil.

Ekspektasi yang indah-indah (atau yang buruk) dari sesuatu itu memudar cepat. Lebih cepat dari resolusi tahun baru.

Eh iya, ini udah bulan Oktober, ya 😫. Berarti tahun 2025 tinggal tiga bulan lagi. Harus mulai nyicil bikin draft resolusi tahun 2026, nih.

Apa selanjutnya?

Secara prinsip, saya sudah memutuskan bahwa Suara B adalah pemenang dalam perdebatan imajiner ini. Ditambah lagi, saya mendapat sebuah pemahaman bahwa kebahagiaan (dalam hal ini kenyamanan) adalah sebuah narasi yang dibentuk oleh otak yang fokusnya parsial. Kebahagiaan bukanlah sebuah penjumlahan nilai-nilai positif dan negatif dari seluruh stimulus yang diterima syaraf sensorik.

Akan tetapi, ada beberapa pertanyaan lanjutan yang kemudian terlintas di kepala saya.

Dengan asumsi bahwa focusing illusion berlaku di kondisi normal, bagaimana teori ini berlaku untuk kondisi ekstrim? Misalnya dengan kondisi di ujung kiri yang sangat tidak nyaman hingga nyaris menembus ke level tidak berfungsi normal, misalnya gigi persneling sulit pindah, rem harus dikocok, dan lain-lain. Atau di kondisi imajiner di ujung kanan untuk mobil yang sangat nyaman, misal bisa menyetir sendiri, joknya berupa kursi pijat, ada massage wajah, dan kondisi imajiner lainnya.

Untuk sementara saya biarkan pertanyaan ini mengendap di kepala dulu, siapa tahu suatu saat ketemu juga jawabannya. Yang jelas, sekarang ini saya merasa cukup puas bahwa ternyata intuisi saya terhadap Suara B didukung oleh seorang pemenang nobel di bidang ekonomi 😁.