Sebuah Catatan dari Kelas Matematika I
Beberapa hari yang lalu, saya mendapatkan kelas Matematika I. Kelas ini adalah kelas yang saya tunggu-tunggu. Sebagai orang yang masih terbata-bata dalam membaca bahasa matematika, saya merasa sangat butuh bantuan seorang guru untuk membantu memahami kumpulan huruf, angka, dan simbol yunani yang selalu sukses bikin kepala pening.
Benar saja, hanya dengan beberapa diagram Venn dan garis panah, saya langsung punya gambaran filosofis fungsi komposisi dan fungsi inverse. Fungsi komposisi itu reaksi berantai, fungsi inverse itu semacam reverse engineering.
Di akhir kelas, dosen saya memberikan kuis sederhana.
Pertanyaannya, carilah:
- dan
Saya buru-buru mengerjakan soal itu dan langsung mengumpulkannya ke dosen. Setelah ke toilet dan cari angin cukup lama (butuh pendinginan karena otak sudah lama tidak dipakai 😛), saya pun kembali ke kelas.
Ternyata, baru pekerjaan saya yang ada di meja dosen. Karena penasaran, saya melihat pekerjaan seorang teman saya (lulusan SMA tahun kemarin). Ternyata dia baru menulis soal dan tidak tahu harus memulai dari mana. Saya coba memberikan sedikit masukan bahwa intinya fungsi itu tinggal dimasukkan ke nilai di fungsi .
Saya biarkan dia melanjutkan karena menurut saya sisanya sudah sangat mudah. Tapi ternyata teman saya berhenti di situ lama sekali. Sebuah pemikiran pun terbesit di benak saya.
Apakah kemampuan memahami dan menulis matematika di Indonesia memang separah ini?
Saya punya dua hipotesis tentang hal ini:
- lingkungan pendidikan tempat saya belajar adalah anomali di dunia pendidikan Indonesia, atau
- ada sesuatu yang salah dalam proses pedagogi di beberapa tahun terakhir ini.
Hipotesis 1
Ketika SMP dan SMA, saya sekolah di sekolah negeri yang cukup favorit di tingkat kota. Ketika kuliah D3 pun, kampus saya termasuk kampus favorit juga. Meskipun demikian, saya bisa dikategorikan sebagai pelajar yang tidak berprestasi di sekolah. SMP dan SMA tidak pernah dapat ranking di kelas, apalagi paralel. Di kuliah pun saya nyaris DO karena IP kurang. Jadi, saya merasa bahwa saya itu sangat bodoh dalam segala hal, termasuk matematika.
Mungkin selama ini saya bergaul dengan lingkungan yang “salah”. Ibarat seorang pemain liga 2 yang kebetulan mendapatkan kesempatan bermain di liga champions, mau tidak mau saya dipaksa untuk terus menerus bermain dan berpikir dalam skema pertandingan elit.
Saya merasa sangat bodoh karena tidak bisa membaca apalagi menyelesaikan soal kalkulus. Namun kalau dibandingkan dengan kenyataan di masyarakat Indonesia, masalah saya ini terlihat agak mewah. Mayoritas orang Indonesia masih berkutat di soal aritmatika dasar, bahkan belum sampai menyentuh aljabar.
Hipotesis 2
Hipotesis kedua saya baru mulai terpikir ketika melihat rekan kuliah yang lain, seorang bapak-bapak berusia 49 tahun (saya juga bapak-bapak, tapi beliau lebih bapak-bapak dibandingkan saya).
Beliau mengerjakan soal itu dengan sangat hati-hati, bolak balik melihat contoh di catatannya kemudian membandingkannya dengan jawabannya. Waktu saya intip, semua langkahnya runut, dan langkah-langkah “bantuan” juga ditulis. Intinya, proses jawaban beliau sangat menggambarkan pola pikir dalam menjawab soal kuis. Saya yakin beliau sudah puluhan tahun tidak mengerjakan soal seperti ini. Namun, logika beliau membantu membawa beliau menuju ke jawaban yang tepat.
Ironisnya, bapak ini adalah orang tercepat kedua yang menyelesaikan soal kuis setelah saya.
Kalau menimbang bahwa teman-teman yang lebih muda ini harusnya masih memiliki ingatan matematika yang lebih segar, saya justru merasa miris dengan fakta bahwa bapak ini selesai lebih cepat. Bahkan bapak-bapak yang sudah lama tidak mengerjakan soal matematika saja masih memiliki logika matematis yang lebih kuat dibandingkan orang-orang muda yang berusia sekitar 20-an tahun.
Di antara dua pilihan
Kalau boleh memilih antara dua pilihan yang tidak enak, saya memilih hipotesis saya yang kedua.
Hipotesis kedua saya menyiratkan bahwa masalah ini hanya muncul di “satu generasi”. Memiliki satu generasi yang rata-rata kurang dalam logika matematis memang mengenaskan. Tapi di sisi lain, dengan perbaikan sistem pedagogi yang baik, masalah ini tidak akan terjadi di generasi berikutnya.
Saya berharap bahwa saya dan bapak-bapak tadi bukanlah “anomali” di masyarakat, bahwa masalah umum di Indonesia sejak zaman dulu bukan di level aritmatik. Kalau ternyata ini yang terjadi, maka PR kita untuk mengubah model pedagogi matematika akan luar biasa berat.
Sebetulnya saya masih menyimpan satu hipotesis lagi, dan ini yang paling preferable dibandingkan hipotesis pertama dan dua. Hipotesis ini saya simpan sebagai sebuah harapan bahwa masalah yang saya lihat tidak bersifat sistemik.
Hipotesis 3
Kebetulan saja 20 mahasiswa muda di kelas saya isinya adalah orang-orang yang gagal paham matematika di SD sampai SMA. Bahwa generasi muda di luar kelas saya sudah lancar menggunakan matematika sebagai bahasa teknik.
Mudah-mudahan kelas saya adalah anomali, bukan representasi dari generasi muda.
PS: akhirnya target 12 post dalam 2 bulan terlampaui. Waktunya untuk masuk ke mode subscription bulan depan 🥳