Tentang Pernikahan, Victor Wooten, dan Crystal Maiden
Suatu saat, istri saya mem-forward postingan buku yang dikarang temannya. Isinya tentang bagaimana cara menjadi istri yang bisa mendukung suami. Beberapa poin di buku ini di antaranya adalah
- Menjaga kehormatan suami
- Menjadikan rumah surga bagi suami
- Mendukung suami mengenal potensi diri
- Membantu suami menemukan karir terbaik
- dst
Komentar istri saya adalah, “Kok suami-sentris banget ya?”
Saya diam sejenak sebelum membalas. Saya justru bertanya pada diri sendiri, emang ada yang salah ya dengan pernyataan itu? Kemudian saya melakukan sedikit flashback dan menyadari ada dua hal penting mengapa istri saya sulit menerima hal tersebut:
- dia bukan bassist (lebih sering jadi vokalis) dan
- dia tidak pernah bermain DOTA.
Artinya, dia lebih terbiasa jadi “frontliner” yang dapat perhatian, bukan “support” yang bekerja di belakang layar.
🎶 Perjalanan menjadi seorang pemain bass yang gagal
Waktu kecil saya ingin menjadi seorang drummer. Namun, bapak saya punya pandangan lain. Beliau ingin saya lebih menonjol dan mendorong saya untuk ikut les vokal. Menurut beliau, vokalis itu selalu menjadi pusat perhatian, lebih “di atas angin” dibandingkan pemain instrumen yang lain.
Alasan bapak saya masuk akal. Vokalis itu bisa latihan sendirian, sampe latihan di kamar mandi juga masih oke. Mau jadi penyanyi solo juga bisa, bahkan sekadar unjuk bakat di acara RT pun lebih gampang. Beda dengan drummer yang harus bikin ruang kedap suara dulu (pada waktu itu drum elektrik belum populer). Mau jadi drummer solo nyaris gak mungkin. Di acara RT, boro-boro ada drum, ada keyboard aja udah bagus.
Saya mengamini logika bapak saya dan ikut les vokal. Namun ternyata hati kecil saya tidak bisa bohong. Pita suara saya menolak untuk diajak bekerja sama dan akhirnya guru les saya yang menyerah mengajari saya menyanyi.
Beberapa tahun kemudian, bapak saya masih menentang keinginan saya untuk menjadi drummer. Sebetulnya lebih ke alasan ekonomi sih, soalnya beli drum set dan bikin ruang kedap suara itu financially impossible bagi kami 😂. Akhirnya saya memutuskan untuk mencoba memegang bass. Bermodal gitar butut yang dilepas 2 senar paling bawah, saya mencoba menabung dan mengambil les bass di tempat les termurah.
Saya masih ingat pengajar saya waktu itu rambutnya gondrong dan penggemar Billy Sheehan. Ideologi musik beliau mau tidak mau tertular kepada saya, “seorang bassist itu bisa juga bermain melodi secepat gitaris.” Dalam masa puber yang haus validasi, saya menyerap ideologi itu. Bahwa seorang bassist tidak boleh kalah dari gitaris. Kalau gitaris saya main melodi, saya juga harus ikutan. Pokoknya jangan sampai kalah!
Dalam musikalitas, saya tumbuh menjadi pemain bass yang biasa-biasa saja. Bahkan bisa dibilang di bawah rata-rata. Saya sendiri bingung mengapa permainan saya tidak pernah bagus. Akhirnya, suatu saat saya melihat video Victor Wooten.
So as a musician — as a rhythm section musician — that’s my job. My job is not just to play with him (guitarist). My job is to make him sound better.
Pernyataan Victor Wooten benar-benar menjadi sebuah tamparan bagi saya. Ternyata selama ini saya bermain musik dengan paradigma yang kurang pas. Tugas utama pemusik ritmik (bass itu termasuk alat musik ritmis yang punya nada 😛) adalah menjadi support bagi melodi. Kalo toh dia ternyata dia juga jago main solo, itu adalah bonus. Tapi jangan sampai cuma mengejar bonus dan melupakan tugas utama.
🧙♂️ Tentang DOTA dan The International
Saya bermain DOTA sejak seri DotA: Allstar yang sebetulnya cuma custom map dari game Warcraft III. Sejak saat itu sampai sekarang, karakter favorit saya adalah Crystal Maiden (waktu itu namanya masih Rylai Crestfall). Saya sering main di kos-kosan bersama teman-teman, metric pengukuran performa permainan kami sangat sederhana, Yang dinilai cuma siapa yang paling banyak kill dan paling sedikit death. Kami sama sekali belum paham tentang konsep posisi dan teamwork.
Fast forward sampai ke tahun 2012, saya baru ngerti apa itu “posisi” (carry, offlaner, support, dll) setelah menonton dan mempelajari pertandingan di The International, sebuah kompetisi internasional DOTA 2. Dari situ, saya belajar bahwa support itu justru berharga karena tidak mencari kill. Bahkan untuk cari duit pun harus rela mengalah kalau ada pemain lain yang lebih butuh.
Awalnya saya menolak. Pembagian berdasarkan posisi ini terlalu diskriminatif. Tapi setelah saya pikir-pikir, ternyata di situlah seninya. Bagaimana cara agar tetap memberi impact tanpa mengejar sorotan. Support itu sering melakukan hal yang “tak terlihat”. Contohnya pasang ward, blocking creep, atau sekadar bersembunyi menunggu momen untuk ngeroyok musuh yang salah langkah. Tapi tak jarang hal-hal kecil seperti itu justru yang menentukan arah permainan.
Dan setelah memahami filosofi permainan DOTA, alhamdulillah sekarang saya masih menjadi pemain di bawah rata-rata yang lebih suka melihat kompetisi daripada bermain sendiri 😅
⌛ Kembali ke saat ini
Dari pengalaman saya (yang ternyata tidak membawa saya ke mana-mana), ada beberapa pelajaran yang bisa saya ambil.
- Sebuah tim tidak akan berjalan kalau semua ingin mendapatkan spotlight atau menjadi “pemeran utama”, jadi
- ambil peran yang kamu inginkan dan bermainlah sesuai peranmu sebaik mungkin.
Masih yakin mau selalu jadi pusat sorotan? Spotlight memang keliatan enak, tapi coba rasain di panggung, bakal buta karena silau dan gak bisa lihat ke mana-mana 😂.